google-site-verification: google4086a67cad748863.html EMPATI DI TENGAH PANDEMI | Nurelice | Parenting Blogger

EMPATI DI TENGAH PANDEMI


Di tengah wabah ini, yang paling bikin hati meringis itu ketika liat para penjual keliling. Di komplek tempat saya tinggal terbilang banyak sekali penjual keliling lalu lalang tiap harinya, belasan mungkin hingga puluhan.

Baca juga; Pengaruh Covid-19 Pada Keseharian Kami

Karena wabah ini, dagangan mereka sepi. Di blok saya pun mereka hampir nggak pernah keliatan berhenti karena pembeli, bahkan beberapa pedagang harus kembali memutari blok demi blok berharap suara khas dari dagangan mereka memikat pembeli untuk kedua atau ketiga kalinya ketika dibunyikan. 

Lebih dari 5 minggu saya #DiRumahAja, bikin saya punya banyak waktu buat merhatiin sekitar. Setiap hari puluhan pedagang keliling lewat penuh peluh di sela topinya, napasnya berat karena ntah dari jam berapa kakinya membelah jalanan, pundaknya terlihat sangat renta ketika mendorong roda. Suatu hari hujan, pedagang bubur tetap berkeliling memakai jas hujan biru tua, matanya tidak berhenti menatap panci berisi dagangannya, raut wajahnya was-was, seakan takut buburnya tercampur air yang menggenang di atas tutupnya.

Meringis,
sungguh tragis,
hingga susah untuk menangis.

Hari kemarin, meskipun rasanya sangat was-was buat jajan tapi nggak bisa nahan ngidam yang manis-manis dan seger. Kebetulan, mamang cendol lewat, langsung saya panggil. Seketika terlihat perubahan di wajahnya, ada sesuatu yang menarik ujung bibirnya melebar, cendolnya ia sajikan dengan penuh senyum dan haru. 

Lalu, kemarin lusa, kami janji akan membelikan Susu Murni Nasional kalau mamangnya lewat pada anak kami. Ba'da zuhur baru lewat,

"Mang, meser 1 rasa cokelat." ucap suami saya

"Oh, mangga mangga.." balas mamangnya

Lalu suami saya memberi uang empat ribu rupiah karena di luar komplek kami suami saya biasa beli dengan harga segitu. Di luar dugaan, mamang susunya dengan sumringah bilang;

"Nuhun nya nuhun pisan." 

Yang artinya;

"Makasih ya, terimakasih banyak." 

Lalu, kami berdua bingung. Kenapa berterimakasih segitunya, saya check kemasan susunya tertulis Rp. 3000,- 

Ntahlah, sampe sekarang kami bingung terimakasihnya ditujukan untuk apa. Karena sudah membeli atau karena lebihnya uang yang kami kasih. 

Mungkin, membeli satu cup susu dengan harga empat ribu nggak akan kerasa ada yang 'ilang' dari dompet kita tapi buat mereka-mereka itu lebih dari sekedar membantu. 

Mungkin, dengan melebihkan uang seribu rupiah pada dagangannya nggak akan memberatkan kita. Dalam hati pasti "ah, serebu doang." tapi buat mereka, mungkin kita dianggap sebagai perantara Tuhan buat menyambung hidupnya. 

Sedikit tips jajan bijak di tengah pandemi ini; 

JAJANAN BERKEMASAN

Salah satu hal yang bikin saya berani approve kalau anak pengen banget jajan itu harus yang berkemasan, supaya gampil buat ngelap kemasannya pakai sabun. Kayak itu tadi Susu Murni Nasional contohnya, biasanya saya cuci dulu kemasannya pakai sabun yang buat sayur dan buah atau pakai tissue basah, keringin. Sedotannya? Udah lama pakai stainless straw, ehe.

PERHATIKAN KEBERSIHAN

Cara singkat menilai jajanan bersih atau nggak buat saya itu yang serba tertutup dan serba pakai sendok atau plastik ngambilnya. Misalnya tukang bakso.. seledri, bawang goreng dan bumbu lainnya dalam toples harus serba ditutup dan nyomotnya nggak pakai tangan yang habis megang uang buat kembalian orang lain. 

LANGSUNG PINDAH KE PIRING

Kalau terpaksa harus DO makanan karena gak sempet masak (re: stress masak mulu) langsung pindahin makanan ke piring dan buang kemasannya ke tempat sampah. 

Sekarang ini, kita semua susah dengan adorasinya masing-masing. Tapi, semoga kesulitan ini nggak mengikis empati dan simpati kita terhadap sesama. This too shall pass! Aamiin.. 

0 Comments