KBR kembali menggaungkan kampanye tentang kusta pada acara talkshow yang dilaksanakan secara live melalui akun Youtube KBR pada Sabtu, 26 Januari 2022 lalu. Pada acara kali ini KBR menggandeng 2 narasumber, yaitu dr. Astri Ferdiana (Technical Advisor NLR Indonesia) dan Al Qadri (orang yang Pernah Mengalami Kusta/Wakil Ketua Perhimpunan Mandiri Kusta Nasional).
Bertajuk "Tolak Stigmanya, Bukan Orangnya!" acara ini dihadiri berbagai komunitas, seperti Komunitas ISB dan komunitas Blogger 1minggu1cerita. Dimulai dengan sapaan hangat dari Ines Nirmala selaku host, kemudian dilanjutkan dengan cerita pengalaman sebagai OYPMK (Orang yang Pernah Mengalami Kusta) oleh bapak Al Qadri.
Bapak Qadri menceritakan pengalamannya, usianya baru 6 tahun ketika ia terkena kusta, tepatnya sewaktu beliau masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Berawal dari keluhan tidak merasakan sakit ketika dicubit temannya (mati rasa), kemudian salah satu orangtua temannya mengetahui bahwa itu merupakan salah satu gejala kusta dan melaporkan keluhan itu pada kepala sekolah. Kala itu, tujuan si orangtua tersebut agar bapak Qadri diberhentikan dari sekolah karena dianggap bisa mengancam kesehatan siswa lain.
"Sakit kusta itu sebenarnya tidak seberapa, tapi sakit diskriminasinya itu yang luar biasa." - Al Qadri
Apa yang Menyebabkan Seseorang Tertular Kusta?
dr. Astri menyampaikan, jika dilihat dari sisi medis sebenarnya kusta itu merupakan penyakit infeksi. Jadi, penyakit menular tapi sifatnya itu kronis, jangka lama. Dan sebenarnya penyebabnya itu bakteri yang bernama microbacteria lepra, biasanya bakteri ini menyerang kulit dan juga saraf di ujung-ujung/tepi tubuh kita.
Dan kalau misalnya kusta ini terlambat dideteksi atau terlambat diobati, maka akan dapat timbul diformitas atau kelainan anatomi, atau yang biasa disebut sebagai kecacatan pada beberapa bagian tubuh seperti mata, jari tangan dan kaki.
Gejala Apa Saja yang Akan Dialami Orang yang Terkena Kusta?
Awalnya, tanda atau gejala kusta itu sebenarnya sangat sederhana. Saking sederhananya, kebanyakan orang menganggapnya sebagai sakit kulit biasa. Karena memang penampakannya itu seperti panu, yang disebabkan oleh jamur. Bercak kulit yang muncul beragam, biasa berwarna merah maupun putih. Tapi, perbedaannya dengan penyakit kulit lain adalah bercak kulit karena kusta ini biasanya tidak gatal, tidak nyeri, tidak bersisik ketika digosok dan mati rasa. Itulah mengapa, penyandang kusta biasanya tidak menyadari rasa nyeri ketika terkena panas atau tertusuk jarum sehingga lebih mudah mengalami luka.
Stigma dan Diskrimasi Apa yang Dialami oleh Penyandang Kusta?
Bapak Qadri, selaku aktivis OYPMK pasti memiliki banyak cerita unik terkait diskrimasi pada penyandang kusta karena beliau berada di tengah-tengah komunitas peduli kusta. Bapak Qadri menerangkan, bahwa permasalahan utama kusta itu sebenarnya adalah tentang stigma. Seharusnya masalah kusta ini sudah selesai karena kusta bisa disembuhkan, namun ketakutan orang-orang untuk dekat dengan penyandang kusta masih sangat melekat pada masyarakat, sehingga seseorang sulit mengakui gejala kusta karena takut dijauhi.
Terkait dengan akses, penyandang disabilitas kusta tentu lebih berat karena dihujani stigma dan diskriminasi. Terlebih jika si penderita adalah perempuan, di Kampung pak Qadri, perempuan tersebut tidak akan ada yang mau melamar dan laki-laki akan menolak lamarannya. Bahkan di suatu daerah, kusta dijadikan sebagai sumpah untuk meyakinkan seseorang.
Apa yang Dilakukan dalam Upaya Penanggulangan Stigma/Diskriminasi Akibat Kusta?
dr. Astri menjelaskan bahwa stigma memang masalah yang cukup kompleks. Tentunya, untuk mengatasi stigma ini dibutuhkan upaya yang cukup komprehensif dan konsisten. Kami (NLR Indonesia) pernah melakukan survei di tahun 2020 di salah satu daerah di Indonesia, dan kami menemukan bahwa masyarakat dan nakes itu bersedia bergaul dengan OYPMK tapi uniknya mereka membatasi jarak ketika berinteraksi. Misalnya, mereka tidak mau memperkerjakan OYPMK, tidak mau menikahkan anaknya dengan OYPMK dan tidak mau menerima OYPMK tinggal di rumahnya (misalnya sebagai anak kost).
Untuk mengatasi ini memang dibutuhkan kerjasama, tapi yang utama adalah kita harus terlebih dahulu sadar bahwa OYPMK punya hak-hak yang sama dengan kita; hak untuk mendapatkan kesehatan, pendidikan, bahkan hak untuk hidup. Nah, kalau hal tersebut sudah kita pahami, kita akan bisa melihat bahwa sebetulnya OYPMK itu sama dengan kita.
Bagaimana Cara Mencegah Kusta Pada Anak?
Hal terpenting dalam pencegahan kusta pada anak adalah kalau dia tinggal serumah dengan penyandang kusta, maka orang yang menderita kusta ini harus menjalani pengobatan sesegera mungkin dan harus menyelesaikan pengobatannya secara lengkap. Karena anak-anak tidak seperti orang dewasa, dia tidak terlalu banyak berinteraksi dengan orang luar, jadi potensi sumber penularannya adalah orang yang berada di dalam rumah. Jadi, ketika ada orang rumah yang didiagnosa kusta maka harus diobati sesegera mungkin, karena ketika sudah menjalani pengobatan kusta tidak menular lagi.
Apalagi, sekarang sudah tersedia obat pencegahan kusta untuk orang-orang yang kontak erat dengan penyandang kusta. Obatnya bisa dikonsumsi oleh anak-anak dewasa dan hanya diminum satu kali saja.
Bagaimana Cara Berkomunikasi dengan Penyandang Kusta Tanpa Menyinggung Mereka?
Bapak Qadri menerangkan bahwa kusta sebenarnya tidak membahayakan orang di sekitarnya. Seseorang yang mengalami kusta bisa hidup seatap dengan saudara lainnya, tetapi tidak ada yang tertular. Bapak Qadri selaku OYPMK menikahi perempuan OYPMK juga dan dikaruniai dua anak, tetapi alhamdulillah kedua anaknya sehat dan tidak mengalami kusta. Hanya 2% yang bisa tertular kusta, itu pun seseorang dengan imun yang kurang baik. Tetapi untuk anak kecil apalagi bayi, memang sebaiknya dihindari untuk berinteraksi lama dengan penyandang kusta, khususnya penderita yang belum berobat.
Seperti Apa Pola Hidup yang Benar untuk Mencegah Kusta?
Tidak ada pencegahan yang spesifik, hanya saja melakukan pencegahan terhadap kusta dengan cara menjauhi pasien kusta bukan cara yang bijak. Itu merupakan cara yang justru menstigmasisasi. Jadi, sebenarnya pencegahan kusta adalah memutus rantai penularan. Dan bagaimana caranya? Dengan mendorong pasien kusta untuk segera melakukan pengobatan ke Puskesmas untuk mendapatkan obatnya, selanjutnya pasien harus mendapat dukungan sosial agar dia termotivasi untuk menghabiskan obat tersebut sampai selesai. Karena jangka waktu pengobatannya sangat lama sehingga membutuhkan persistensi dan konsistensi.
"Bekerjasama merupakan jalan untuk mencegah penularan kusta." - dr. Astri
Sudah terlalu lama Indonesia bergelut dengan kusta, dan sudah terlalu lama pasien kusta mendapatkan stigma dan diskriminasi. Mari melibatkan diri dalam penekanan angka kasus kusta di Indonesia dengan memeluk mereka!