Malam ini, ketika saya asyik scroll media sosial, saya menemukan satu postingan dengan jumlah komentar mencapai puluhan ribu. Postingan dengan jumlah komentar sebanyak itu selalu membuat saya penasaran, akhirnya sering kali saya baca deretan komentarnya sampai bosan, hehe.
Ohya, postingan tersebut menampilkan video seorang ibu dengan satu anak yang cranky di atas motor karena kehujanan. Sembari bersembunyi di balik jas hujan, sang ibu beberapa kali terlihat menenangkan anaknya yang (ntah) nggak kuat kedinginan atau ada keinginan lain yang belum terpenuhi.
Si ibu memberikan sebuah keterangan dalam unggahannya itu, "Maafin kami ya, Nak. Kamu jadi harus naik motor, hujan-hujanan terus, kedinginan, kena angin. Pingin deh rasanya cepet kebeli mobil".
Beda kepala, tentu beda pemikiran. Begitupun dengan kolom komentar tadi yang dipenuhi setidaknya puluhan ribu orang yang meninggalkan pendapatnya di sana, tentu semuanya nggak akan sama.
Beberapa orang turut mendo'akan agar keluarga si ibu dikaruniai sebuah mobil, beberapa lainnya menghakimi dengan kalimat yang seolah si ibu tidak pandai bersyukur, namun tak jarang juga saya temukan kalimat hangat yang menjadi pengingat.
Tapi, ada satu komentar yang membuat saya tertegun dan mengarahkan kembali memori pada keadaan yang persis seperti itu. Kurang lebih, isi komentarnya seperti ini, "Buk, emosi itu menular. Kalau Ibu enjoy naik motor meski hujan-hujanan atau panas-panasan, anak juga inshaAllah akan enjoy. Saya juga gitu, waktu kecil sering keujanan naik motor sama Bapak, tapi itu jadi kenangan yang bikin bahagia".
Saya membenarkan komentarnya, karena dengan membacanya, saya jadi flashback ke masa-masa sekolah dulu. Waktu itu, ada sesuatu yang bikin saya telat berangkat sekolah. Dengan jarak dari rumah ke sekolah puluhan kilo meter, seharusnya saya siap berangkat di jam setengah enam.
Ndilalah, jam enam lebih sepuluh saya masih di rumah. Alhasil, Bapak harus buru-buru nyalain motor tuanya yang nggak kooperatif itu, lol. Baru jalan sekitar enam kilo meter, tiba-tiba hujan deras. Karena buru-buru, Bapak lupa masukkin jas hujan yang ia simpan di meja garasi ke dalam jok motor.
Kala itu, saya tau Bapak ingin sekali mengutuk diri dan menyalahkan motor tuanya itu. Niatnya, ia mengantarkan pakai motor supaya anaknya bisa tepat waktu sampai di sekolah karena kerampingan motor yang gampil srobat-srobot.
Namun, alih-alih merutuki keadaan, Bapak menepi sambil berkata, "Hujan besar gini tinggal setel lagu India".
Jujur, yang ada di benak saya waktu itu cuma rasa kesal. Belum sampai di (bahkan) setengah jalan, tapi beberapa hal bikin saya nyerah melanjutkan perjalanan. Tapi Bapak menyodorkan sogokan uang yang jumlahnya melebihi uang saku saya. Dengan wajah penuh keluh dan baju serta sepatu yang basah separuh, saya melangkah dari tepi dan memilih bus untuk dinaiki.
Mungkin, dulu saya masih remaja, hingga enggan untuk peka terhadap apa yang Bapak rasa. Tapi selepas menjadi orang tua, saya pun (ternyata) menjadi terbiasa menebar tawa di atas keadaan yang sebenarnya tidak baik-baik saja.
Komentar tadi memang benar, bahwa emosi dan kondisi seorang ibu/orang tua itu menular. Sekali pun kita berada dalam suatu kondisi yang menurut kita menyusahkan, anak tidak akan tertekan jika kita tidak menampakkan. Sebaliknya, anak akan gelisah jika orang tua terlihat resah.
Namun, perlu juga kita perhatikan, bahwa nggak semua anak yang terlihat cranky sama keadaan sekitar itu disebabkan ibunya yang nggak karuan. Terlebih kalau anaknya masih batita, duh, jangan sampe deh kita too harshy judging people, apalagi sesama perempuan.
Lha wong saya aja yang waktu itu sudah SMA nggak peka kok sama ketenangan yang Bapak saya tunjukkan, apalagi anak-anak, ya kaaan? Hehe
Dan, nggak semua orang tua yang mengeluh itu minim rasa syukur. Karena kita nggak pernah tau kondisi sebenarnya yang dialami seseorang. Barangkali, air hujan dan cuaca dingin merupakan alergen bagi anak si ibu. Lalu, si ibu dengan kekhawatiran yang memenuhi batinnya mendorongnya untuk memohon Allah kabulkan keinginannya memiliki mobil.
Mungkin, bagi kita tempat terbaik untuk mengeluh dan meminta adalah dalam do'a, bukan ketikan pada sosial media. Tapi mungkin bagi-Nya berbeda, bisa jadi banyak orang yang turut meng-aamiin-kan hingga rintih keluh dan harapannya Allah wujudkan.