Pinterest
"Udah tua kok belum nikah-nikah sih?"
"Anaknya masih kecil kok udah hamil lagi sih?"
"Masak dong biar hemat, jangan beli terus lauknya."
... and a mio similar questions.
Ntahlah, semenjak ada kata baper (menurut pengalaman pribadi) seseorang semakin mudah menuding reaksi kita terhadap aksi mereka. "Lha aku kan becanda, masa nanya gitu doang langsung ketus sih, baper ah." Lalu, saya akan terpaksa menelan dan membenarkan kalimat mereka, menimbang-nimbang apakah benar reaksi yang saya berikan berlebihan?
Menurut merdeka.com istilah baper ini diketahui merupakan sebuah kependekan dari Bawa Perasaan, yang kemudian disingkat agar lebih mudah dengan istilah baper. Dalam hal ini, baper merujuk pada kondisi di mana seseorang terlalu mengambil hati atau perasaan dari setiap perkataan atau tindakan orang lain.
Tapi, seringnya memang kalimat yang dilontarkan itu memicu baper. Sesederhana pertanyaan "kok hamil lagi padahal anaknya masih kecil?" kita nggak pernah tau mungkin aja dia udah KB tapi kok tetep bisa hamil, mungkin dia juga nangis-nangis pas tau karena belum siap, dan dengan kemungkinan lain yang kita nggak tau lalu kita dengan lantang memberikan pertanyaan yang sebenernya bisa kita ganti dengan "wah udah hamil lagi ya, lucu ya nanti usianya bakal deketan jadi kayak kembar."
Semenjak menikah, saya jadi super hati-hati kalau mau ngomong sama orang. Mungkin karena banyak ngadepin masalah dan sempet depresi juga kali ya, jadi ngalamin ada di titik yang sensitif banget sama omongan orang. Apalagi kalau ketemu orang yang tipenya asbun alias asal bunyi tanpa mikirin perasaan oranglain, udah deh... 😂
Pernah, waktu itu timbangan sampe 44kg, imagine tinggi badan saya yang 165cm tapi berat badan cuma segitu, kerempeeeng banget. Lalu seseorang yang deket banget nyeletuk "pake KB suntik aja biar agak gendutan, liat tuh badan kayak gak pernah dikasih makan suami." DEGH! Mungkin maksudnya baik, ngingetin buat nambah daging karena badan saya di pandangan oranglain udah terlalu tipis kala itu. Tapi untuk ukuran orang dekat itu rasanya nggak bisa diwajarin. Pilihan diksinya terlalu sadis untuk dilontarin ke seseorang yang kesehatan mentalnya lagi kacau, seseorang yang jiwanya lagi gak tentram. It makes me feel more unconfident.
Tapi, seiring membaiknya keadaan, saya belajar banyak hal terutama soal menghormati oranglain melalui bahasa. Mengolah kata sebelum berbicara jadi hal yang wajib buat saya sekarang. Mungkin menurut kita biasa saja, tapi buat mereka itu luka. Ketika mengutarakannya mungkin kita nggak ngerasain apapun, tapi jauh dalam bathin mereka terbakar. Karena apa? Karena kita tidak tau apa yang sebenarnya sedang mereka hadapi, karena kita tidak pernah tau jalan mana yang sedang mereka tapaki, lalu masih tega kah kita mencerca membebani mereka dengan kata?
3 Comments
Salam kenal mbak
ReplyDeletetulisannya reminding sekali untuk selalu berhati-hati dalam berucap. Thanks for sharing
Bener banget, Kak. Ini selaras dengan tulisan saya yang berjudul kita tidak bisa membahagiakan semua orang. Pandai-pandainya kita mengendalikan diri dalam berucap dan bertingkah laku.
ReplyDeleteSalam kenal, saya Amin dari https://muhammadamin.my.id
Aku sekarang juga lebih sering mikir dulu daripada komentar. Walaupun kadang suka gak sadar ceplas ceplos tapi tetap berusaha buat nggak menyakiti. Jangan sampai kira ngerasain apa yang dirasakan baru sadar apa yang kita omongin tuh nyakitin orang.
ReplyDelete