google-site-verification: google4086a67cad748863.html KETIKA NENEK BERTANYA "BAHAGIAKAH PERNIKAHANMU?" | Nurelice | Parenting Blogger

KETIKA NENEK BERTANYA "BAHAGIAKAH PERNIKAHANMU?"



Tema 1 minggu 1 cerita minggu ini adalah bahagia. Kata bahagia menarik mundur ingatan saya pada tahun 2015 lalu, ketika almarhumah nenek saya masih ada. 

Saat itu, baru sebulan saya menikah dan meninggalkan rumah ibu (yang juga nenek tinggali). Hitungan waktu memang sebulan, tapi hitungan rindu rasanya sudah berabad-abad jauh dari rumah dan orang-orang di dalamnya. Jadi, saya memutuskan untuk berkunjung. 

Nenek, biasa saya panggil grandma, saya lupa kenapa dan kapan panggilan itu disematkan yang pasti saya ingat adalah ketika ia menjengkelkan panggilannya akan saya ubah dengan grandmoy. Ntahlah, alasan ini juga nggak saya ingat, yang pasti adalah; kita gak bisa manggil atau bicara seenaknya ke orangtua semenjengkelkan apapun mereka. Wkwkwk

"Ulul, kemana aja? Lama nggak liat." Pertanyaan yang ia lontarkan ketika saya pertama kali berkunjung ke rumah ibu pasca menikah. Ia lupa bahwa cucunya sebulan lalu menikah, padahal ia selalu menghadiri proses demi proses menuju perubahan status saya. Maklum, tinggal beberapa jengkal lagi usianya akan menginjak kepala 9. Jangankan untuk memori berminggu-minggu ke belakang, ketika ada tamu pun akan berkali-kali ia sodorkan tangan mengajak salam. 

"Kan udah nikah, jadi ikut suami ke Garut." Jawaban saya membuatnya ternganga sejenak, seakan sulit untuk percaya cucunya yang di matanya selalu belia ternyata sudah dewasa. 

Seperti biasa, kami bercanda, lebih tepatnya saya mengejek ingatan pendeknya kemudian kami akan tertawa diakhiri dengan depakkan tangannya. 

"Ulul... Gimana... Bahagia kan nikahnya? Suami sama Ibunya baik kan?" 
Pertanyaan ringan tapi jawabannya akan sangat berat. Hubungan kami sangat dekat walau tidak terlalu hangat, sifat saya yang jengkelan dan sifatnya yang nggak sabaran membuat kami sering hilang keharmonisan. Tapi, walau begitu, ia adalah tempat terbaik untuk bercerita dibanding ibu. 

Saya ingat ketika saya duduk di bangku SMP, sepulang sekolah, hanya ada ia di rumah. Masih berbalut seragam dan kaos kaki, saya merebahkan diri di pangkuannya dan bercerita tentang apa yang hari itu saya hadapi di sekolah. Perubahan pupil matanya menandakan ia sangat khusu mendengar, walau mungkin saja beberapa menit kemudian ia akan lupa. 

Kembali ke pertanyaannya,
pertanyaan yang terlalu awal untuk saya jawab, karena sebulan menikah berarti saya masih berada di titik awal perjalanan. Bahkan, untuk mengetahui bagaimana suami ketika marah pun rasanya... belum. Apalagi mertua. 

Saat itu saya memilih diam dan mengalihkannya. Bukan, bukan karena nggak bahagia apalagi ada apa-apa tapi karena pemikiran dulu yang bahkan mendekati poin 'pernikahan itu apa' saja mungkin belum, jadi jawaban yang saat itu saya pikirkan adalah "ya bahagialah, masa nggak. Kan hidup sama orang yang dicintai." meski nggak sempet terucap. 

Tapi, impian bahagianya pernikahan untuk orang awam memang itu, kan? Bahagia karena bisa terus bersama dengan orang yang kita mau. Sedewasa apapun kita, sebelum kita pernah memasuki fase pernikahan, we'll never know how much the problems in it, huh? Karena pikiran kita akan terfokus ke bahagia memilikinya, apalah masalah di depan, kita akan mampu menghadapinya asal selalu bersama-sama. Gitu kan? Ceileh..

Nenek meninggalkan kami semua tepat ketika usia anak pertama saya baru 5 hari, bahkan luka bekas jahitan saya pun masih terasa sangat perih. Al-fatiha untuknya.

Kalau pertanyaan itu ia lontarkan sekarang, dimana tahun ini pernikahan saya akan genap 6 tahun. Mungkin, saya akan memilih untuk menjawab;

Grandma, menikah itu ternyata seperti ini. Menikah itu bukan mencari kebahagiaan, tapi menjawab seperti ini bukan berarti pernikahan saya jauh dari kata bahagia. Saya sangat bahagia, dititipkan pada lelaki baik juga dititipi 2 anak lelaki pintar yang sangat menyayangi dan menghormati saya. Di samping itu, juga banyak ketidakbahagiaan yang baru saya sadari ternyata hadir dalam pernikahan. 

Grandma, ketika dulu kita bertukar cerita, kamu selalu berbicara tentang betapa adil dan baiknya Tuhan menitipkan kamu pada sosok lelaki yang sabar menghadapi lonjakan emosimu setiap hari, tapi kamu lupa bercerita tentang bagaimana kerabatnya merespon kurangmu yang bahkan mungkin nggak merugikan mereka sama sekali. 

Grandma, menikah itu ternyata jauh dari sekedar jatuh pas main kasti lalu bangun lagi, menikah itu ternyata jauh dari sekedar susah buka kemasan permen karet pake gigi tapi nggak sampe pas mau ambil gunting di atas lemari, menikah itu ternyata jauh dari sekedar mau jajan cimol uang koinnya jatoh ke kali terus tinggal minta lagi. Tapi, walaupun begitu, menikah nggak sengeri dislokasi patela karena kaki kelilit waktu lompat tali, menikah nggak sengeri bocor dahi karena terburu-buru saat main lomba lari, menikah nggak sengeri sakit hati karena kaset DVD dipatahin temen yang iri.

Grandma, sesempurna apapun pernikahan ternyata nggak luput dari ketidakbahagiaan. Bahkan seseorang dengan kecantikan istrinya yang paripurna, harta tahta yang hampir takkan ada habisnya, juga buah hati yang cantik sempurna, masih berkelana mencari kesenangan ke sini ke sana.

Jadi, Grandma...
Pernikahan saya bahagia, walau tidak sepenuhnya. Yang pasti saya ingin pernikahan saya seperti sungai, batu-batu besar yang nampak adalah kebahagiaan, dilihat orang meski dari kejauhan, kerikil di dasarnya adalah ketidakbahagiaan, mereka tidak akan nampak kecuali menapakinya. Karena dalam hidup, mau menikah ataupun tidak, kita akan selalu berada di antara batu-batu bahagia dan ke-tidak-bahagiaan. 

0 Comments