google-site-verification: google4086a67cad748863.html Rumah, Rindu dan Ceritanya | Nurelice | Parenting Blogger

Rumah, Rindu dan Ceritanya

Menurut saya, salah satu hal yang sangat dirindukan meski tidak melihat hanya dalam itungan jam adalah rumah. Hampir dua bulan saya tinggal di rumah Ibu dan meninggalkan rumah saya sendiri dan berjauhan dengan suami. Rindu? Sangat.

Saya baru merasakan apa itu homesick. Memori saya berputar menggambarkan seorang wanita hamil sedang melakukan rutinitas paginya menjemur pakaian yang baru saja ia cuci, sedang suaminya membantu mengangkat ember -yang berisi jemuran- sebelum ia berangkat untuk memastikan pekerjaannya selesai tanpa kesalahan. 

Rumah, sesuatu yang akhir-akhir ini selalu ada dalam daftar keinginan saya. Bukan, bukan karena saya dan suami menikah muda lantas suami saya belum mapan (sebutan sejuta orang). Suami saya termasuk orang yang telah memiliki rumah dalam usia yang amat sangat muda, namun karena kondisi lain mengharuskan kami menyewa untuk sementara waktu. 

Awal kami menikah, tidak pernah terlintas keinginan untuk ingin secepatnya memiliki rumah (lain) selain rumah yang tadi saya sebutkan. Namun seiring berjalannya waktu, saya mulai memahami bahwa rumah adalah hal yang harus berusaha untuk dimiliki. 

Entah apa yang benar-benar membuat saya terobsesi untuk memiliki rumah dalam jumlah yang lebih dari dua ataupun sekedar rumah yang akan saya tempati. Entah karena terdoktrin oleh statement bahwa harga rumah akan semakin meningkat atau karena cerita dari pengalaman pahit yang almarhumah nenek saya alami. 

Waktu itu, nenek bercerita tentang seseorang yang pernah mengusirnya. Keluarga dari Ibu memang serba kekurangan, berbeda dengan keluarga dari Ayah yang terbilang sangat kaya. "Memang, jadi orang miskin itu harus banyak sabarnya. Waktu itu dia (yang mengusir nenek) adalah keluarga kaya, keluarga kami tinggal di atas tanah miliknya,..." masih sangat jelas bagaimana nenek berusaha menyembunyikan kesakitannya kala itu, matanya memerah, tangannya meraih ujung kutubaru-nya untuk menahan air mata agar tidak memiliki celah untuk menetes. 

Ibu, seseorang yang dibesarkan dari keluarga yang serba kekurangan, yang selalu mengajarkan saya untuk tidak menuntut dan banyak meminta pada suami, hanya menjawab "Sudah, jangan minta sama suami. Kalau ada kemauan, minta sama Allah jangan sama suami. Rizki suami dari Allah." ketika saya bercerita tentang hal-hal yang sedang saya impikan. 

Saya tidak ingin menyebut tulisan ini sebagai permintaan dalam bentuk terbuka, tidak. Saya menyebutnya ini keinginan dan pengalaman yang banyak di-semoga-kan. Ya, semoga secepatnya tercapai, semoga tidak ada lagi orang yang mengalami apa yang keluarga nenek saya alami dan semoga tidak ada orang yang berlaku seenaknya kepada orang yang serba kekurangan. 

Semoga, semoga dan semoga yang lainnya.

Semoga kita, kamu dan saya, menikmati masa tua yang indah. Menyeruput secangkir cappucino setiap pagi di balkon atas, tersenyum memandangi dinding kokoh yang menyelimuti kita dari dingin dan panas atas gigihnya usahamu, lalu sedikit bercerita tentang kenangan sejak awal hidup satu atap. :)



0 Comments